Minggu, 06 November 2011

Pribumi dan non-Pribumi

Oleh : Andri Maulana

ABSTRAK

KECEMBURUAN SOSIAL MASYARAKAT PRIBUMI (INDONESIA) TERHADAP ETNIS CINA AKIBAT PERSAINGAN EKONOMI PADA MASA ORDE LAMA

Dalam masyarakat Indonesia berkembang mitos dominasi ekonomi etnis Cina. Sehingga akibat mitos tersebut mereka seringkali menjadi sasaran kecemburuan. Setiap gejolak sosial di negeri ini hampir selalu melibatkan etnis Cina sebagai korbannya. Sentimen anti-Cina memang telah lama ada. Hal ini juga tidak dapat dilepaskan dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berkuasa.

Berdasarkan konteks di atas, maka pertanyaan mayornya adalah bagaimana kecemburuan sosial masyarakat pribumi (Indonesia) terhadap etnis Cina akibat persaingan ekonomi pada masa Orde Lama? Kemudian pertanyaan minornya adalah apakah yang melatarbelakangi kecemburuan sosial dalam masalah tersebut? Apakah dampak yang ditimbulkan dari masalah tersebut? Apakah kebijakan yang dipakai pemerintah pada masa itu?

Kecemburuan sosial tersebut terjadi di zaman perjuangan kemerdekaan dan Demokrasi Terpimpin. Peran ekonomi etnis Cina semakin meluas. Rencana pemerintah mencanangkan program ekonomi yang disebut benteng dianggap gagal. Target ini hanya dimanfaatkan oleh sekelompok elit politik. Untuk menumpuk kekayaan pribadi. Sedangkan rakyat pribumi biasa merasa menderita.

Teori yang digunakan adalah Dependency/Egoism. Ini menjelaskan bahwa pemikiran KAAB yang cenderung bergantung kepada orang/bangsa yang mampu/egois akan tetapi sangat bergantung kepada yang lain. Lawan dari teori ini adalah Interdependency/Solidarty. Ini menerangkan bahwa pemikiran KAAB yang cenderung saling tolong-menolong. Jelasnya, teori ini mengutamakan solidaritas sesama manusia (Bakti; 2004: 128).

Pada era Demokrasi Terpimpin, pemerintah sudah mengeluarkan PP No. 10/November 1959. Pemerintah melarang orang Cina berdagang di pedesaan. Agar tidak mengganggu usaha ekonomi masyarakat pribumi. Peraturan ini membatasi tegas peran dan hak ekonomi etnis Cina. Pelaksanaan tersebut merupakan dimulainya nasionalisasi dan sosialisasi di bidang ekonomi. (Wikipedia Indonesia: 2003).

Kecemburuan sosial ini dilatarbelakangi oleh kesenjangan kemakmuran. Akibatnya terjadilah kerusuhan anti-Cina tahun 1963 di setiap daerah. Imbasnya terjadi inflasi yang melonjak tinggi. Kelangkaan kebutuhan pokok. Kebijakan pada masa itu membiarkan warga Cina terus aktif di bidang ekonomi. Sambil membatasi keberadaan mereka sebagai pejabat di bidang birokrat. ( Wikipedia Indonesia: 2003).

Sentiment anti-cina bermuara pada kekerasan. Hal yang dilakukan terhadap etnis Cina di Indonesia karena sentimen sosial. Juga akibat kesenjangan ekonomi. Hal ini bisa dihindari dengan mengadopsi Interdependency/Solidarity. Keharmonisan juga bisa terjaga antar sesama.

Keywords: Etnis Cina, pemerintah, sosial, ekonomi, dan Demokrasi Terpimpin.

MAKALAH

A. Pendahuluan

1. Latar Belakang Masalah

Pertentangan pribumi dengan etnis Cina karena faktor ekonomi bukan hal baru. Misalnya pada tahun 1909 di Betawi (Jakarta) didirikan organisasi dagang dengan nama Sarekat Dagang Islam (SDI). Pada 1911 di Bogor didirikan SDI yang kedua. Pendirinya adalah Tirtoadisurjo, dengan cita-cita mendirikan persekutuan dagang perkoperasian Indonesia bertujuan utama mematahkan dominasi ekonomi pengusaha Cina dalam bisnis bahan dan industri batik. Untuk mencapai tujuan itu, didirikan SDI yang ketiga di Solo (akhir 1911) oleh H. Samanhudi, seorang pedagang besar batik di Solo, dengan tujuan memajukan kehidupan ekonomi rakyat di bawah bendera Islam. Yang terjadi kemudian bukan persaingan bisnis murni, tetapi sering terjadi bentrokan-bentrokan fisik. Dengan alasan untuk memelihara ketertiban, ketentraman dan keamanan, atas perintah residen (Belanda) Solo rijksbestuurde (papatih Sri Susuhunan) membekukan SDI, yang kelak setelah aktif lagi mengalami beberapa kali perubahan nama, seperti Sarekat Islam (SI) yang tak terfokus pada soal perdagangan lagi.

Kemudian pada masa pemerintahan Soekarno, juga pernah diusahakan untuk membatasi kemajuan ekonomi etnis Cina. Pada tahun 1959 dikeluarkan Peraturan Presiden No. 10 Tahun 1959, yang mulai berlaku 1 Januari 1960, mewajibkan semua pedagang eceran Cina di daerah pedalaman ditutup. Namun dalam pelaksanaannya bukan hanya usahanya yang ditutup, tetapi juga dilaksanakan larangan pemukiman etnis Ci na. Seperti yang dilakukan Kolonel Kosasih, Panglima Jawa Barat. Bahkan Kolonel ini menembak mati dua orang perempuan Cina yang mencoba melawan penggusiran itu. Dalam masyarakat Indonesia berkembang mitos dominasi ekonomi oleh etnis Cina. Sehingga akibat mitos tersebut mereka seringkali menjadi sasaran kecemburuan. Setiap gejolak sosial yang terjadi di negeri ini hampir selalu melibatkan etnis Cina sebagai korbannya. Sentimen anti-Cina bila dilihat dari sejarahnya memang telah lama ada. Hal ini sebenarnya juga tidak dapat dilepaskan dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berkuasa.

2. Pertanyaan Mayor dan Minor

Berdasarkan konteks di atas, maka pertanyaan mayornya sangat terkait dengan kecemburuan sosial masyarakat pribumi (Indonesia) terhadap etnis Cina akibat persaingan ekonomi pada masa Orde Lama. Dari pertanyaan mayor ini kemudian muncul pertanyaan minor atau turunan dari mayor. Kemudian pertanyaan minor berhubungan dengan awal mual dari penyebab terjadinya kecemburuan sosial masyarakat pribumi (Indonesia) dengan etnis Cina yang berakhir dengan kekerasan. Dari kedua pertanyaan ini perlu adanya rumusan masalah dalam bentuk pertanyaan mayor dan minor. Jelasnya, kedua pertanyaan tersebut untuk mengungkap kekerasan yang tejadi terhadap terhadap kebijakan pemerintah.

Pertanyaan mayor atau utama adalah bagaimana kecemburuan sosial masyarakat pribumi (Indonesia) terhadap etnis Cina akibat persaingan ekonomi pada masa Orde Lama? Kemudian pertanyaan minornya adalah apakah yang melatarbelakangi kecemburuan sosial dalam masalah tersebut? Apakah dampak yang ditimbulkan dari masalah tersebut? Apakah kebijakan yang dipakai pemerintah pada masa itu?

3. Pernyataan Penelitian

Secara kuantitatif, etnis Cina masih merupakan golongan keturunan asing terbesar dibandingkan etnis asing lainnya di Indonesia. Bahkan golongan yang kemudian dikenal sebagai “Overseas Chinese” ini kini telah tersebar diseluruh penjuru Nusantara ini. Eksistensi etnis Cina di Indonesia memang cukup lama. Menurut data sejarah, bangsa Cina pertamakali datang ke Indonesia diperkirakan sejak abad ke-5, tepatnya 411 M. Dalam catatan sejarah, orang Cina yang pertamakali datang ke Nusantara adalah Fa Hian. Kedatangannya dalam rangka melaksanakan tugas untuk mengumpulkan kitab suci agama Budha.

Semenjak kemunculannya, perjuangan eksistensi etnis Cina di Indonesia tidak-lah indah. Ribuan nyawa dan kekayaan telah dikorbankan atau menjadi korban sebagai wujud perjuangan etnis Cina untuk bertahan eksis dinegeri ini. Sajian sejarah pilu perjuangan etnis Cina dalam tulisan ini tidak bermaksud membuka kembali luka lama. Akan tetapi, sajian sejarah ini bisa menjadi titik tolak. Bagaimana pentingnya menumbuhkan sikap saling menghargai terhadap etnis yang berbeda, atau agama yang berbeda.

Konflik pribumi dengan etnis Cina sebenarnya sudah terjadi ketika pertama kali etnis Cina datang ke Nusantara. Sikap anti Cina semakin kuat pada zaman Orde Lama (ORLA) tahun 1959. Dengan munculnya keputusan larangan dagang bagi orang asing termasuk Cina. Kondisi ini membuat para pedagang Cina mendapat kesulitan. Buah dari kondisi ini, ada sekitar 100 ribu etnis Cina mencoba lari dari Indonesia menuju negeri asalnya.

B. Body/Isi

1. Teori

Dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan salah satu teori dari 20 teori yang ada dalam buku Komunikasi Antar Agama dan Budaya. Teori ini sangat penting untuk menjadi landasan dan membingkainya dalam upaya mengerahkan kepada kebenaran. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memperkuat sebuah penelitian. Penelitian ini memelurkan teori yang tepat sehingga teori tersebut benar dalam penerapannya. Jadi, penggunaan teori ini dalam upaya mendasarkan penelitian kepada arah yang diharapkan.

Teori yang digunakan adalah Dependency/Egoism. Ini menjelaskan bahwa pemikiran KAAB yang cenderung bergantung kepada orang/bangsa yang mampu/egois akan tetapi sangat bergantung kepada yang lain. Lawan dari teori ini adalah Interdependency/Solidarty. Ini menerangkan bahwa pemikiran KAAB yang cenderung saling tolong-menolong. Jelasnya, teori ini mengutamakan solidaritas sesama manusia. Dalam agama islam disebut dengan at-Ta’awwanu.[1]

Dengan at-Ta’awwanu dalam kehidupan bermasyarakat atau bernegara nantinya akan timbul sikap simpati. Karena simpati berarti “menempatkan diri kita secara iimajinatif dalam posisi orang lain. Setelah kita mempunyai sikap simpati maka akan timbul sikap empati. Empati itu sendiri diartikan sebagai orang yang tidak mempunyai makna emosional bagi kita.[2] Dengan ini memahami emosional orang lain manusia lebih mudah dalam memahami orang lain untuk saling tolong-menolong.

Peristiwa kekerasan tidak akan terjadi apabila kita mengadopsi dan mengedepankan teori yang kedua yaitu Interdependency/Solidarty. Yang mengedepankan sikap saling tolong-menolong. Karena disetiap agama pasti menganjurkan sikap tolong-menolong bagi setiap manusia kepada sesama dalam kebaikan. Dalam islam ada firman Allah yang berbunyi : dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran (keburukan). (al Maidah: 2).

Tolong-menolng merupakan konsep dasar yang dijadikan asas untuk mengaplikasikan teori Islam atas harta. Dengan tanpa adanya at-Ta’awwanu, maka teori tersebut tidak dapat diwujudkan. Dan tanpa adanya pemahaman yang benar tentang makna at-Ta’awwanu dan keimanan yang mendalam, maka kehidupan masyarakat Islam tidak akan pernah terbangun, dan konsep ekonominya hanya sebatas retorika. Harta kekayaan bukanlah menjadi tujuan hidup. Harta berfungsi sebagai fungsi pokok kehidupan dan mempunyai tugas-tugas sosial yang cukup urgen. Manusia sama di hadapan Allah, dan yang membedakan adalah kadar takwa yang akan menyampaikan seorang hamba pada rahmat Allah.

Islam mempunyai kaidah yang luas tentang hak seseorang atas harta. Orang dzimmi yang hidup dalam naungan Islam juga berhak mendapatkannya. Tidak membedakan letak geografis, jenis etnis ataupun warna kulit. Saling memperhatikan dan peduli terhadap kehidupan sesama, semuanya adalah saudara dalam satu iman kepada Allah. Setiap mereka berhak untuk menerima hak, bagi orang yang bertamu atau datang ke rumah kita, walaupaun berasal dari daerah lain, kita patut untuk memberikan makan atau minum karena mereka berhak dan termasuk sebagai ibnussabil. Ibnu Hazm berkata, menjamu/ menghormati tamu adalah wajib bagi orang desa, kota, ulama, orang awam selama satu hari satu malam, sampai waktu tiga hari bertamu.

Sebenarnya kekerasan yang terjadi terhadap etnis Cina di Indonesia tidak perlu terjadi apabila masyarakat pribumi sadar akan makna tolong-menolong tersebut. Apalagi masyarakat pribumi itu kebanyakan mayoritas islam agamanya. Seharusnya masalah kecemburuan sosial ini bukan dijadikan sebuah kekerasan. Akan tetapi kita jadikan sebagai motivasi dan semangat untuk berusaha dalam memajukan ekonomi masyarakat Indonesia. Seharusnya yang kita lakukan dalam menghindari masalah itu, harus ada sebuah pendidikan karakter, Tentang sikap tolong menolong. Hal ini juga tanggung jawab pemerintah. Mereka harus bertanggung jawab atas kebijakan-kebijakannya.

2. Metodologi

Berabad-abad lamanya, orang-orang Cina dari berbagai propinsi sebelah tenggara Cina telah mulai pindah menetap di kepulauan Indonesia. Tekanan ekonomi dalam negeri Cina telah memaksa orang Cina merantau ke Asia Tenggara. Pada abad ke-18 VOC menarik orang Cina khususnya yang berada di Banten ke kota Batavia dengan suatu janji ada keuntungan ekonomi yang bisa diperoleh orang Cina dari kota dagang tersebut, dan memang tidak bisa dibantah bahwa orang Cina memperoleh keuntungan besar di daerah ini. Lambat laun kehadiran mereka bukan lagi sekedar penghuni kota tetapi sebagai saingan VOC. Untuk mengatasinya pada bulan Oktober 1740 pemerintah melakukan pembantaian orang-orang Cina di Batavia.[3]

Pada masa kebijakan pemerintah Orde Lama, di mana pemerintahan Indonesia yang dibentuk setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1950 pada dasarnya mewarisi kebijakan yang ditinggalkan oleh pemerintah kolonial. Pemerintah membiarkan warga Cina terus aktif di bidang ekonomi sambil membatasi keberadaan mereka sebagai pejabat di bidang birokrat.[4] Namun warga Cina dibolehkan dalam bidang politik sehingga terdapat sebagian warga Cina yang menduduki jabatan sebagai menteri, misalnya Lie Kiat Teng sebagai Menteri Kesehatan dan Oey Tjoe Tat sebagai menteri pada kabinet 100 menteri. Pemerintahan Soekarno juga membolehkan etnis Cina mengekspresikan kebudayaan mereka dan menjalankan agama atau keyakinan mereka. Namun demikian segregasi tetap terjadi karena dalam kenyataannya tidak ada interaksi yang efektif antara warga etnis Cina dengan warga etnis lainnya. Akibatnya beberapa konflik serius terjadi. Masalah utamanya adalah kesenjangan kemakmuran.

3. Analisis

Sejarah kehidupan etnis Cina di Indonesia selalu diwarnai dengan peristiwa kekerasan, dari diskriminasi sampai kekerasan fisik seperti perampokan, pembunuhan, penjarahan, dan pemerkosaan. Hampir dalam setiap pergantian periode di Indonesia etnis Cina menjadi korban kekerasan dalam sentimen anti Cina, misalnya peristiwa pembantaian di Muara Angke pada masa VOC dengan korban lebih dari 10.000 orang Cina yang dibantai atas perintah pemerintah VOC2, peristiwa kerusuhan Maret 1942, peristiwa September 1965 dan yang masih melekat dalam ingatan adalah peristiwa kerusuhan 13-15 Mei 1998 di Jakarta dan beberapa kota lainnya merupakan salah satu contoh peristiwa malapetaka terbesar yang dialami oleh orang-orang keturunan Cina di Indonesia setelah masa kemerdekaan.

Beberapa tokoh nasionalis di bawah Mr. Asaat pernah memperkenalkan sebuah program ekonomi yang disebut benteng, yang intinya ingin meningkatkan partisipasi ekonomi warga pribumi dalam ekonomi nasional.[5] Sistem ini diberlakukan untuk melindungi para importir nasional agar dapat bersaing dengan asing yang masih beroperasi di Indonesia. Tujuan dari sistem benteng ini adalah agar terbentuk kelompok wiraswasta Indonesia yang mampu menggerakkan perekonomian nasional. Program ini memberikan hak kepada pengusaha pribumi untuk mendapatkan lisensi dan kredit impor. Sebenarnya pada pemerintahan Soekarno ini justru meminimalisir kebijakan ekonomi-politik sebagai pemicu segregasi sosial yang akan mengarah pada munculnya sentimen anti-Cina. Tetapi target ini tidak tercapai dan hanya dimanfaatkan oleh sekelompok elit politik untuk menumpuk kekayaan pribadi atau menghimpun dana-dana politik, bahkan melahirkan sebuah bentuk kerjasama “Ali-Baba”. Dalam kerjasama model ini pihak Indonesia asli yang tidak berpengalaman menjual ijin dan lisensi kepada pedagang warga etnis Cina. Dengan cara ini orang Cina tetap mampu melanjutkan usahanya dan mendapatkan keuntungan, sementara mitra Indonesia asli hampir tidak mendapatkan pengalaman bisnis yang diperlukan bagi pengembangan ekonomi nasional.

Pada era pemerintahan demokrasi terpimpin, pemerintah juga mengeluarkan peraturan yang dianggap diskriminatif di bidang ekonomi yaitu PP no. 10/November 1959 yang melarang orang Cina berdagang di wilayah pedesaan yang melahirkan sejumlah insiden. Peraturan ini membatasi secara tegas peran dan hak ekonomi etnis Cina. Mereka hanya diperbolehkan berdagang sampai tingkat kabupaten dan tidak boleh berdagang di tingkat kecamatan apalagi di desa-desa. Implikasinya, orang-orang di berbagai daerah dilarang dan dipaksa untuk meninggalkan permukimannya di pedesaan. Sekalipun larangan ditujukan kepada WNA Cina totok, dalam prakteknya pembedaan dengan mereka yang peranakan tidak secara jelas diberlakukan. Selama tahun 1959-1960 kampanye pengusiran berlangsung dengan dukungan pihak TNI-AD. 136.000 orang Cina meninggalkan Indonesia, sementara 100.000 orang di antaranya pulang ke tanah leluhur Tiongkok.

Kerusuhan anti-Cina tahun 1963 terjadi di berbagai daerah terutama di Jawa Barat yaitu di Cirebon, Bandung, Sumedang, Bogor, Cipayung, Tasikmalaya, Garut, Singaparna, dan Sukabumi. Selain itu kerusuhan juga terjadi di Solo, Surabaya, Malang, dan Medan. Kerusuhan terjadi akibat kesenjangan kemakmuran. Etnis Cina terkena imbas dari situasi politik-ekonomi saat itu, yaitu inflasi yang melonjak tinggi, kelangkaan barang-barang kebutuhan pokok, frustasi terhadap kebijakan ekonomi pemerintah Soekarno yang amburadul. Rasa frustasi dengan mudah dapat diarahkan dengan mencari target kemarahan yang termanifestasikan dalam kerusuhan anti-Cina, dan ini adalah bagian dari pertarungan memperebutkan kekuasaan politik antara kekuatan kiri dengan kanan.

Adanya sentimen anti-Cina yang bermuara pada kekerasan yang dilakukan terhadap etnis Cina di Indonesia tidak terlepas dari sentimen sosial dan kesenjangan ekonomi. Sentimen sosial berjalan seiring dengan masalah kesenjangan ekonomi. Di balik sentimen ini terdapat prasangka-prasangka yang terus menerus hidup dan bahkan sengaja dihidupkan dengan tujuan tertentu. Sebagai contoh pada zaman penjajahan Belanda, prasangka ini terkait dengan masalah politik. Etnis Cina distigmatisasi sebagai antek Belanda, dan prasangka ini terus bertahan sampai masa awal kemerdekaan Indonesia. Terdapat penggeneralisasian sifat ini bagi semua warga Cina, padahal terdapat juga kalangan Cina yang bersimpati terhadap gerakan kemerdekaan Indonesia.

Prasangka yang ada juga muncul akibat keunggulan kalangan Cina dalam memenangkan persaingan ekonomi. Keunggulan ekonomi warga etnis Cina memberikan dampak munculnya kecemburuan dan kebencian etnis lain yang pada akhirnya melahirkan prasangka-prasangka. Gambaran umum mengenai etnis Cina di Indonesia yang ada selama ini adalah stigma bahwa golongan Cina merupakan “binatang ekonomi” (economic animal) yang bersifat oportunis, tidak memiliki loyalitas politik dan hanya memikirkan kepentingan diri sendiri. Mitos-mitos tentang karakter-karakter orang Indonesia keturunan Cina sampai saat ini masih tertanam kuat dalam masyarakat kita, bahkan mungkin dalam kesadaran bangsa Indonesia keturunan Cina itu sendiri. Banyak tekanan terhadap warga negara etnis Cina yang berasal dari prasangka bahwa secara ekonomi mereka kuat, tidak loyal kepada Indonesia dan siap beremigrasi ke negara mana pun yang menawarkan keuntungan ekonomi kepada mereka.

Sebenarnya apakah yang salah dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia sehingga mitos-mitos dan prasangka-prasangka itu bisa terus hidup dan tertanam lekat dalam benak kita sampai sekarang. Lestari dan berkembangnya sentimen anti Cina tidak terlepas dari kebijakan negara. Negara, dalam hal ini pemerintah, merupakan suatu institusi yang selalu mereproduksi isu-isu rasial demi mempertahankan status quo.[6] Sejak zaman penjajahan Belanda, penguasa telah menerapkan kebijakan segregasi sosial terhadap etnis Cina. Langsung atau tidak langsung negara memelihara stereotip-stereotip itu dan memanipulasinya untuk mempertahankan kekuasaannya. Tulisan ini akan berusaha menelaah beberapa kebijakan negara kolonial sampai pemerintahan Orde Baru terhadap etnis Cina yang cenderung berpotensi untuk lahirnya sentimen anti-Cina.

C. Kesimpulan

Warga Negara Indonesia etnis Cina telah memiliki beban sejarah dan beban mitos dalam kehidupannya. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial dan otoriter telah menerapkan politik ras atas nama etis, nasionalisme maupun pembangunan. Akibatnya muncul sentimen rasial dalam kehidupan bernegara. Sikap rasialis juga berkembang karena adanya prasangka-prasangka yang hidup dalam masyarakat. Misalnya bahwa orang Cina itu hidup secara eksklusif dan memiliki sikap oportunis.

Dalam masyarakat sentimen anti-Cina didorong oleh faktor kesenjangan ekonomi. Latar belakang sejarah di bidang ekonomi warga etnis Cina telah melahirkan mitos kekuatan ekonomi mereka. Terdapat pemukulrataan bahwa semua WNI etnis Cina adalah kaya dan memperoleh akses pada kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan nasional sebagaimana dahulu mereka mendapatkan perlindungan dan keistimewaan dari pemerintah kolonial. Setiap gejolak sosial yang terjadi di negeri ini hampir selalu melibatkan etnis Cina sebagai korbannya. Sentimen anti-Cina bila dilihat dari sejarahnya memang telah lama ada. Hal ini sebenarnya juga tidak dapat dilepaskan dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berkuasa. Sebenarnya aksi kekerasan itu dapat dihindarkan apabila kita mengadopsi teori solidarity. Dengan sama-sama menumbuhkan sikap simpati dan empati sesama manusia tanpa memandang perbedaan etnis, suku, budaya, dan bahasa, pasti akan timbul sifat peduli untuk saling menolong yang sama-sama menguntungkan dalam kebaikan.

D. Daftar Pustaka

Adypato. Kebijakan Ekonomi Pada Masa Orde Lama, Wednesday, September 22, 2010 ), (http://ekonomikro.blogspot.com/2010/09/kebijakan-ekonomi-pada-masa-orde-lama.html) (diakses pada 31 desember jam 12:30)

Bakti, Andi Faisal. Comuniction and Fplanning in Sslam Indonesia: south Sulawesi Moslem Perception of a Global Development P`rogram, Leiden-Jakarta: Inis, 2004.

Daniri, Ririn. Kebijakan Neagara dan Sentimen Anti-Cina: Perspektif hstoris. Staf pengajar pada Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi UNY).

Heryanto, Ariel. “Kapok Jadi Nonpri: Terorisme Negara dan Isu Rasial”, Kompas, 12 Juni 1998.

Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rahmat. Komunikasi AntarBudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006.

Suhandinata, Justian. WNI Keturunan Cina dalam Stabilitas Ekonomi dan Politik Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2009.



[1] Andi Faisal bakti, comuniction and family planning in islam Indonesia: south Sulawesi moslem perception of a global development program (leiden-jakrta: inis, 2004).h. 128.

[2] Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rahmat. Komunikasi AntarBudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006).h. 87.

[3] .VOC merasa takut dengan perkembangan jumlah etnis Cina yang begitu cepat di Batavia sehingga menyaingi VOC dalam bisnis di Batavia. Hal ini merupakan salah satu sebab meletusnya pembantaian terhadap orang Cina di Batavia. Dalam peristiwa tersebut diperkirakan 10.000 orang etnis Cina meninggal. Pembunuhan tersebut berlangsung selama delapan hari. Lebih lanjut lihat Hembing Wijayakusuma. Orang-orang Cina yang lolos dari pembantaian kemudian menyelamatkan diri ke Jawa Tengah. (dikutif dari Ririn Daniri staf pengajar pada Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi UNY.)

[4] http://ekonomikro.blogspot.com/2010/09/kebijakan-ekonomi-pada-masa-orde-lama.html (adypato, Wednesday, September 22, 2010 ), (diakses pada 31 desember jam 12:30)

[5] Justian Suhandinata, WNI Keturunan Cina dalam Stabilitas Ekonomi dan Politik Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2009), hlm. 312.

[6] Ariel Heryanto, “Kapok Jadi Nonpri: Terorisme Negara dan Isu Rasial”, Kompas, 12 Juni 1998.